A. Pengertian Belajar
B. Teori-teori Psikologi Belajar
Menurut James O. Wittaker, “Learning may be defined as the process by which behavior originates or is altered through training or experience” (belajar dapat didefinisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman).
Definisi senada dikemukakan oleh Howard L. Kingsley sebagai berikut: “Learning is the process by wich behavior (in the broader sense) is originates or changed through practice or training” (Belajar adalah proses dimana tingkah laku (dalam artian luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan).
Tidak jauh berbeda dengan definisi sebelumnya Gates dalam bukunya Educational Psychology memberikan definisi belajar sebagai berikut: “Learning may be defined as the progresive change behavior which is associated on the hand with succesive precentation of a situation and on the other; with repeated efforts of the individual to reach to it effectively”. (Belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan-perubahan tingkah laku yang saling berhubungan yang lebih maju dalam penampilannya pada situasi, dengan usaha-usaha yang berulang-ulang dan yang bersangkutan agar dapat mencapai keefektifan).
Di sisi lain Robert M. Gagne dalam bukunya The Conditions of Learning mengemukakan: “Learning is a change in human disposition or capacity, which persist over a period of time, and which is not simply ascribable to processes of growth”. (Belajar merupakan sejenis perubahan yang diperlihatkan dalam perubahan tingkahlaku, yang keadaannya berbeda dari sebelum individu berada dalam situasi belajar dan sesudah melakukan tindakan yang serupa itu).
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku yang membedakan antara keadaan sebelum dan sesudah melakukan belajar yang mana melalui proses latihan-latihan atau dari pengalaman-pengalaman.
B. Teori-teori Psikologi Belajar
1. Teori belajar psikologi behavioristik
Teori belajar psikologi behavioristik dikemukakan oleh para psikolog behavioristik. Mereka ini sering disebut “contemporary behaviorists” atau juga disebut “S-R psychologists”. Mereka berpendapat bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan.
1.1 Teori belajar “classical conditioning”
Tokohnya adalah Ivan Petrovitch Pavlov (1848-1936). Menurut teori ini, belajar adalah pembentukan kebiasaan yang diakibatkan oleh pensyaratan (conditioning) atau menghubungkan stimulus yang lebih kuat dengan stimulus yang lebih lemah hingga organisme itu dimungkinkan sebagai hasil belajar asosiatifnya untuk mentransfer respon yang biasanya dihubungkan dengan stimulus yang lebih kuat bilamana stimulus yang lebih kuat itu dihentikan atau dihilangkan.
Eksperimen Pavlov yang paling terkenal ialah dengan menggunakan anjing yang mengeluarkan air liur pada saat melihat makanan. Makanan merupakan stimulus tak bersyarat (Unconditioned stimulus, disingkat US). Stimulus bersyaratnya (Conditioned stimulus, disingkat CS) berupa bunyi dering bel. Dalam eksperimennya, Pavlov menemukan bahwa kalau sinyal atau isyarat atau pertanda (seperti bunyi bel) dibunyikan sewaktu diperlihatkat makanan kepada seekor anjing yang lapar, dan serangkaian ini diulang beberapa kali, maka sampailah anjing itu mengeluarkan air liurnya menanggapi atau menyambut bunyi bel itu sendiri. Air liur sewaktu melihat makanan dapat dianggap sebagai respon bawaan atau alamiah (Unconditioned respon, disingkat UR), sedangkan air liur terhadap bunyi bel disebut sebagai respon bersyarat (Conditioned respon, disingkat CR).
Adapun prosedurnya dapat dikemukakan dengan diagram sebagai berikut:
US (makanan) ………………………………………... UR (air liur)
CS + US (bunyi bel + makanan) …………………………… UR (air liur)
CS * US (diulang) …………………………………………. UR (air liur)
CS (bunyi bel saja) ………………………………….. CR (air liur)
1.2 Teori belajar “operant conditioning”
Skinner menganggap “reward” atau “reinforcement” sebagai faktor terpenting dalam proses belajar. Skinner berpendapat, bahwa tujuan psikologi adalah meramal dan mengontrol tingkah laku. Skinner membagi dua jenis respon dalam proses belajar, yakni:
a. Respondent responses: yaitu respon yang terjadi karena perangsang-perangsang (stimuli) tertentu, stimulus itu disebut “eliciting stimuli”
b. Operant responses: yaitu respon yang terjadi karena diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu, stimuli yang serupa itu disebut “reinforcing stimuli”.
Perbedaan penting antara Pavlov’s classical conditioning dan Skinner’s operant conditioning ialah dalam classical conditioning, akibat-akibat suatu tingkah laku itu. Reinforcement tidak diperlukan karena stimulusnya menimbulkan respon yang diinginkan.
1.3 Teori belajar “connectionism”
Tokoh teori ini adalah Thorndike (1874-1949). Teori belajar ini disebut “connectionism” karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Teori ini sering pula disebut “trial and error learning”, individu yang belajar melakukan kegiatan melalui proses “mencoba dan salah” dalam rangka memilih respon yang tepat bagi stimulus tertentu.
Dari penelitiannyaa itu, Thorndike menemukan hukum-hukum:
a. “Law of readiness”: Jika reaksi terhadap stimulus didukung oleh kesiapan untuk bertindak atau bereaksi, maka reaksi menjadi memuaskan.
b. “Law of exercise”: Semakin banyak dipraktekkan atau digunakannya hubungan stimulus respon, semakin kuat hubungan itu. Praktek perlu disertai dengan “reward”.
c. “Law of effect”: Hukum ini menyatakan bahwa hubungan stimulus respon itu akan menjadi semakin kuat bila disertai dengan rasa senang atau puas, demikian pula sebaliknya.
2. Teori belajar psikologi kognitif
Dalam teori belajar ini berpendapat, bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh “reward” dan “reinforcement”. Menurut teori ini tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi di mana tingkah laku itu terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh “insight” untuk pemecahan masalah.
2.1 Teori belajar “Gestalt”
Peletak dasar gestalt adalah Max Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Sumbangannya ini diikuti oleh Kurt Koffka (1886-1941), yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan; kemudian Wolfgang Kohler (1887-1959) yang meniliti tentang “insight” pada simpanse.
Suatu konsep yang penting dalam psikologi gestalt adalah tentang “insight”, yaitu pengamatan / pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Insight itu sering dihubungkan dengan pernyataan spontan “aha” atau “oh, I see now”.
Kohler (1927) menemukan tumbuhnya insight pada seekor simpanse dengan menghadapkannya pada masalah bagaimana memperoleh pisang yang terletak di luar kurungan atau tergantung di atas kurungan. Dalam eksperimen itu Kohler mengamati bahwa kadangkala simpanse dapat memecahkan masalah secara mendadak, kadangkala simpanse gagal meraih pisang, kadangkala duduk merenungkan masalah, dan kemudian secara tiba-tiba menemukan pemecahan masalah.
2.2 Teori belajar “Cognitive-Field”
Bertolak dari penemuan gestalt psychology, Kurt Lewin (1892-1947) mengembangkan suatu teori belajar “cognitive field” dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi sosial. Lewin memandang masing-masing individu berada di dalam suatu medan kekuatan psikologis dimana individu itu bereaksi (life space).
Lewin berpendapat bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan-kekuatan, baik yang dari dalam maupun dari luar diri individu seperti tantangan dan permasalahan. Menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kogniitif yaitu hasil dari dua macam kekuatan, satu dari struktur medan kognisi itu sendiri dan yang lainnya dari kebutuhan motivasi internal individu.
2.3 Teori belajar “Cognitive-Developmental”
Dalam teorinya Piaget memandang proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Dia adalah seorang psikolog yang suatu teori komprehensif tentang perkembangan inteligensi atau proses berpikir.
Selanjutnya ia membagi tingkat-tingkat perkembangn, yaitu:
a. Tingkat sensori motoris (0,0 – 2,0)
Bayi dengan reflek bawaan, skema dimodifikasi dan digabungkan untuk membentuk tingkah lakuyang lebih kompleks.
b. Tingkat preoperasional (2,0 – 7,0)
Anak mulai timbul pertumbuhan kognitifnya, tetapi masih terbatas pada hal-hal yang dapat dijumpai di dalam lingkungannya saja. Baru pada menjelang akhir tahun ke-2 anak telah mulai mengenal symbol/nama.
c. Tingkat operasional konkret (7,0 – 11,0)
Anak telah dapat mengetahui symbol-simbol matematis tetapi belum dapat menghadapi hal-hal yang abstrak.
d. Tingkat operasi formal (11,0 - …..)
Anak telah mempunyai pemikiran yang abstrak pada bentuk-bentuk lebih kompleks. Contoh: remaja telah dapat membuat hipotesis-hipotesis dari suatu problem dan membuat keputusan terhadap problem itu secara tepat.
2.4 Teori belajar “Discovery Learning”
Teori ini dikemukakan oleh J. Bruner. Disebut discovery learning yaitu dimana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir. The act of discovery dari Bruner diantaranya:
Adanya suatu kenaikan di dalam potensi intelektual.
Ganjaran intrinsic lebih ditekankan daripada ekstrinsik.
Murid yang mempelajari bagaimana menemukan berarti murid itu menguasai metode discovery learning.
Murid lebih senang mengingat-ingat informasi.
3. Teori belajar psikologi humanistis
Menurut teori ini bahwa tiap orang itu menentukan perilaku mereka sendiri. Mereka bebas dalam memilih kualitas hidup mereka, tidak terikat oleh lingkungannya seperti yang dikemukakan dalam teori behaviorisme. Perhatian psikologi humanistic yang terutama tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri.
Dalam bukunya “Freedom to Learn” Rogrers menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip belajar humanistik diantaranya adalah:
Manusia itu mempunyai kemampuan untuk belajar secara alami.
Belajar yang signifikan terjadi apabila subject matter dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksudnya sendiri.
Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
C. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Belajar.
1. Faktor Internal
Faktor internal yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu, meliputi :
a. Kesehatan
Kesehatan jasmani dan rohani sangat besar pengaruhnya terhadap kemampuan belajar. Bila seseorang selalu tidak sehat, sakit kepala, demam, pilek, batuk dan sebagainya, dapat mengakibatkan tidak bergairah untuk belajar.
b. Inteligensi dan Bakat
Kedua aspek kejiwaan ini besar sekali pengaruhnya terhadap kemampuan belajar. Seseorang yang memiliki inteligensi yang baik dan berbakat pada umumnya mudah belajar dan hasilnya pun cenderung baik.
c. Minat dan Motivasi
Minat yang besar terhadap sesuatu merupakan modal yang besar artinya untuk mencapai tujuan yang diminati. Sedangkan motivasi merupakan daya penggerak / pendorong untuk melakukan sesuatu pekerjaan, bias berasal dari dalam diri juga dari luar. Jadi jelas dua aspek ini juga besar pengaruhnya terhadap pencapaian prestasi belajar.
d. Cara Belajar
Belajar tanpa memperhatikan teknik belajar akan memperoleh hasil yang kurang memuaskan. Teknik belajar perlu diperhatikan bagaimana caranya membaca, mencatat, menggarisbawahi, membuat ringkasan, apa yang harus dicatat dan sebagainya.
2. Faktor Eksternal
Sedangkan faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar diri individu, yaitu :
a. Keluarga
Faktor orang tua sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan anak dalam belajar. Tinggi rendahnya pendidikan orang tua, besar kecilnya penghasilan, cukup atau kurangnya perhatian dan bimbingan orang tua, rukun atau tidaknya keluarga, tenang atau tidaknya situasi dalam rumah, semuanya turut mempengaruhi pencapaian hasil belajar anak.
b. Sekolah
Kualitas guru, metode mengajarnya, kesesuaian kurikulum dengan kemampuan anak, keadaan fasilitas di sekolah, keadaan ruangan, jumlah murid per kelas, dan sebagainya, semua ini turut mempengaruhi keberhasilan belajar anak.
c. Masyarakat
Bila di sekitar tempat tinggal keadaan masyarakatnya terdiri dari orang-orang yang berpendidikan, terutama anak-anaknya rata-rata bersekolah tinggi dan moralnya baik, hal ini akan mendorong anak lebih giat belajar.
d. Lingkungan Sekitar
Keadaan lingkungan tempat tinggal juga mempengaruhi prestasi belajar. Misalnya bila bangunan rumah penduduk sangat rapat maka akan mengganggu proses belajar. Disamping itu suasana sekitar, keadaan lalu lintas, iklim, dan sebagainya juga merupakan faktor yang mempengaruhi proses belajar.
DAFTAR PUSTAKA
Abror, Abd. Rachman, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1993
Dakir, Dasar-dasar Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993
Dalyono, M. Psikologi Pendidikan Komponen MKDKK, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997
Soemanto, Wasty, Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998
0 komentar:
Posting Komentar